بِسْمِ اللهِ الرَحْمٰنِ الرَحِيْمِ
WAKTUNYA
Adapun waktunya adalah
sebagaimana yang diterangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhabrahimahullah, “Dan waktunya sejak
berlalunya waktu larangan hingga mendekati zawal (tergelincirnya
matahari ke arah barat).” (Lihat Kitab Adabul
Masyi ila Ash-Sholah)
Waktu larangan yang dimaksud ialah sejak
terbitnya matahari hingga meninggi sekitar satu tombak (kurang lebih 15 menit
setelah terbit, penjelasan Ibnu Utsaimin).
Sebagian ulama’
berpendapat bahwa melakukan shalat dhuha ketika matahari telah terik lebih
utama. Mereka berdalil dengan hadits Zaid bin Arqam Radhiallahu
‘anhu,
صلاة
الأوابين حين ترمض الفصال
“Shalatnya
orang-orang yang kembali (awwabin) ialah jika telah terik matahari.” (HR.
Muslim no. 748)
Asy-Syaikh Abdul Aziz
bin Baaz Rahimahullah berkata, “dan
(waktunya) yang afdhal adalah apabila waktu dhuha telah panas.” (Majmu’
Fatawa Ibnu Baaz 30/56)
Dan berkata Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah,
“… dikarenakan shalat dhuha dimulai sejak naiknya matahari sekira satu
tombak hingga mendekati waktu zawal (zhuhur), dan (melaksanakan) shalat dhuha
di akhir waktu lebih afdhal daripada di awal waktu.” (Majmu’
Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 14/305)
JUMLAH
RAKA’ATNYA
Dari wasiat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Abu Hurairah
dan Abu Darda’ di atas dapat kita pahami bahwasanya minimal bilangan raka’at
shalat dhuha adalah dua raka’at. Sedangkan jumlah terbanyak yang pernah
dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah delapan
raka’at. Diriwayatkan dari Ummu Hani’ Radhiallahu
‘anha
إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ،
فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمْ أَرَ صَلاَةً قَطُّ أَخَفَّ
مِنْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
“Bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masuk ke rumahnya pada waktu Fathu Makkah,
maka beliau mandi dan melakukan shalat sebanyak delapan raka’at.
Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringkas
darinya, hanyasaja beliau tetap menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 1176)
Dalam Shahih Muslim
dari Aisyah Radhiallahu ‘anha ia berkata,
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallammelakukan shalat dhuha
sebanyak empat raka’at dan menambah sekehendak beliau” (Shahih
Muslimno.1175)
Dari hadits Aisyah ini
sebagian ulama’ berpendapat bolehnya melaksanakan shalat Dhuha lebih dari
delapan raka’at. Asy-Syaikh Ibnu Baaz berkata, “Jumlah paling sedikitnya adalah
dua raka’at. Apabila engkau selalu melakukan dua raka’at maka engkau telah
menunaikan dhuha. Apabila engkau shalat empat atau enam atau delapan atau lebih
banyak lagi maka tidak mengapa, disesuaikan yang mudah. Tidak ada padanya
batasan tertentu. Tetapi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam shalat dua raka’at, shalat empat raka’at. Dan pada
waktu Fathu Makkah beliau shalat delapan raka’at. Maka perkaranya dalam
permasalahan ini luas.”
Beliau juga berkata,
“Barangsiapa shalat delapan raka’at, sepuluh, dua belas, atau lebih banyak dari
itu atau lebih sedikit maka tidak mengapa.” (http://www.ibn-baz.org/mat/1086)
Tetapi yang afdhal
adalah tidak lebih dari delapan raka’at, karena jumlah ini yang secara tegas
pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam. Di dalam fatwanya, Al-Lajnah
Ad-Daimah lil Buhutsi wal Ifta (6/145) menyatakan, “Shalat dhuha
adalah sunnah, bilangan sedikitnya adalah dua raka’at dan tidak ada batasan
untuk jumlah banyaknya. Yang afdhal untuk tidak melebihi delapan raka’at.
Melakukan salam pada tiap dua raka’at, dan tidak sepantasnya digabung dalam
satu salam, (hal ini) berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, “(pelaksanaan) shalat malam dan (shalat) siang adalah dua
dua.” (Fatwa ini dikeluarkan dengan diketuai oleh
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dan beranggotakan Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu
Syaikh, Shalih Al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid)
Dikumpulkan oleh:
Abu Rufaidah Abdurrahman Almaidany
Stabat 11 05 2014
0 komentar :
Posting Komentar