TATA
CARA PELAKSANAANNYA
Apabila shalat dhuha
lebih dari dua raka’at maka cara pelaksanaanya adalah dengan cara salam pada
setiap dua raka’at. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda,
صلاة
الليل والنهار مثنى مثنى
“(pelaksanaan) Shalat
malam dan (shalat) siang adalah dua raka’at dua
raka’at.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Di dalam fatwa yang
dikeluarkan Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah
wal Ifta (6/145) yang diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyebutkan
bahswasanya tidak sepantasnya melakukan shalat dhuha lebih dari dua raka’at
dengan satu salam. Hanyasaja sebagian ulama seperti Al-Imam An-Nawawi
membolehkannya, beliau berkata, “Hadits ini dimaknakan untuk menjelaskan
(tatacaranya) yang afdhal, yaitu melakukan salam pada setiap dua raka’at. Baik
shalat nafilah malam hari atau siang hari. Disukai untuk melakukan salam setiap
dua raka’at. Seandainya menggabung semua raka’at dalam satu salam atau shalat
sunnah satu raka’at maka diperbolehkan menurut madzhab kami.” (Al-MinhajSyarah
Shahih Muslim )
Dari penjelasan Al-Imam An-Nawawi di
atas dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaannya yang afdhal adalah berhenti pada
setiap dua raka’at dan tidak mengapa untuk diselesaikan semuanya dalam satu
salam.
MELAKUKANNYA
TERUS MENERUS
Dalam permasalahan ini
terjadi silang pendapat di antara ulama’. Sebagian mereka berpendapat
bahwasanya shalat dhuha tidak dilakukan terus menerus setiap hari. Shalat dhuha
hanya dilakukan ketika baru tiba dari safar. Mereka berdalil dengan hadits
‘Aisyah Radhiallau ‘anha, ketika beliau ditanya
oleh Abdullah bin Syaqiq rahimahullah, “Apakah dahulu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan shalat
dhuha?” Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali jika baru datang dari safar.” (HR.
Muslim) sisi pendalilannya adalah, seandainya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam melakukannya secara rutin tentu akan diketahui oleh
Aisyah Radhiallahu ‘anha.
Akan tetapi berdalil dengan hadits ini
tidaklah tepat ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Aisyah menafikan hal
tersebut berdasarkan ilmu yang beliau ketahui. Sementara dalam beberapa riwayat
terdapat penetapan bahwasanya shalat dhuha disunnahkan untuk dilakukan setiap
hari dan tidak hanya berlaku bagi musafir yang baru tiba dari bepergian saja.
Di antara riwayat tersebut adalah wasiat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam kepada Abu Hurairah dan Abu Darda di awal pembahasan.
Di dalam kaedah ushul disebutkan bahwasanya riwayat yang menetapkan lebih
didahulukan daripada riwayat yang meniadakan, karena riwayat yang menetapkan
mengandung tambahan faedah yang tidak terdapat pada riwayat yang meniadakan.
Kedua: Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam tidak setiap saat bersama Aisyah Radhiallahu
‘anha. Di dalam kesempatan beliau bersama Aisyah dan dalam kesempatan lain
beliau tidak bersamanya. Beliau terkadang menjadi musafir dan terkadang tidak
menjadi musafir. Dalam keadaan tidak safar beliau terkadang duduk di masjid dan
tempat lainnya. Beliau juga memiliki sembilan orang isteri yang semuanya
mendapat giliran hari yang sama rata. Ini menunjukkan bahwa kebersamaan beliau
bersama Aisyah pada waktu dhuha tidak setiap hari dan tidak setiap kesempatan.
Bisa jadi beliau shalat dhuha di rumah isteri-isterinya yang lain, atau ketika
di masjid, di rumah shahabatnya, ketika safar, atau di tempat-tempat lainnya
yang tidak dilihat oleh Aisyah Radhiallahu
‘anha. (Lihat Al-Hawi lil Fatawi Li As-Suyuthi 1/45)
Asy-Syaikh Abdul Aziz
bin Baaz ditanya, “Apa pendapat yang shahih dan rojih tentang shalat dhuha.
Apakah boleh dilakukan setiap hari, selang-selang hari, atau bagaimana?” beliau
menjawab, “(Pendapat) yang rojih tentangnya dan yang sunnah adalah (dikerjakan)
setiap hari. Shalat dhuha (dilakukan) setiap hari. Telah diriwayatkan di
dalam Ash-Shahihain dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau memberikan wasiat kepada Abu
Hurairah dengan tiga perkara, “Shalat
dhuha, shalat witir sebelum tidur, dan berpuasa tiga hari pada setiap bulan.” Dan diriwayatkan
di dalam Shahih Muslim juga bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam mewasiatkan Abu Darda, “Agar
(mengerjakan) shalat dhuha setiap hari, shalat witir sebelum tidur, dan
berpuasa tiga hari pada setiap bulan.” Dan diriwayatkan juga di
dalam Ash-Shahih bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Abu
Dzar ketika menyebutkan persendian tulang dapat melakukan sedekah, beliau
berkata, “Setiap tasbih adalah sedekah, tahmid
adalah sedekah, tahlil adalah sedekah, dan takbir adalah sedekah,” – sampai
akhir hadits beliau bersabda, “dan tercukupi dari itu semua dengan dua raka’at
yang engkau kerjakan ketika dhuha.” (Majmu
Fatawa Ibnu Baaz 30/60)
Dikumpulkan oleh:
Abu Rufaidah Abdurrahman Almaidany
0 komentar :
Posting Komentar